'pure' Evil?

Secara umum, pemahaman kita tentang nilai suatu hal tercabang pada nilai "benar" atau "salah". Suatu hal dianggap baik, jika hal itu tidak merugikan dan melawan moral, begitu pula sebaliknya dengan hal yang jahat; yakni hal yang merusak, merugikan. Untuk mencegah agar manusia tidak berbuat jahat, maka diciptakan yang namanya aturan agar hidup kita teratur dan tidak ada yang dirugikan satu sama lain.

Tapi kita perlu ingat juga bahwa standarisasi seseorang terhadap penilaian benar salah itu berbeda, tergantung kebudayaan tempat ia bertumbuh, serta pengalaman yang dia peroleh ketika menghadapi suatu realita. Apa yang kita nilai baik, bisa dinilai berbeda oleh orang lain, begitu pula sebaliknya. Nah, kalau standarisasi saja berbeda, bagaimana seluruh orang di dunia bisa paham yang baik yang mana yang buruk yang mana?

Seperti yang sudah saya bilang, aturan itu dibuat untuk membuat suatu batasan bagi perilaku manusia. Batasan-batasan ini mungkin berbeda di tiap suku bangsa, namun satu hal yang pasti bahwa tiap bangsa di dunia punya sejumlah nilai-nilai dasar yang hampir sama. Nilai-nilai dasar inilah yang menurut saya, pasti dimiliki orang sedunia. Nilai-nilai ini pada dasarnya berperan  sebagai kompas manusia dalam berperilaku, untuk mengarahkan mereka ke tindakan yang mampu memupuk harmoni; misalnya tidak merugikan orang lain; tidak membunuh; tidak mencuri; dan lain-lain. Mereka yang melanggar, jelas terkena sanksi. Apapun bentuknya, tergantung sanksi yang disepakati oleh masyarakat.

Orang yang merugikan orang lain, baik dari segi mental maupun material, biasa kita atribusikan sebagai orang yang jahat. Orang yang jahat seakan-akan digambarkan sebagai sosok antagonis dalam kehidupan kita (dimana kita berperan sebagai protagonis). Ketika orang diatribusikan sebagai sosok yang jahat, kita seringkali terstimulasi untuk berpikir negatif terhadapnya, dan pada akhirnya kita menjauhi sosok yang disebut 'jahat' ini. Dengan adanya teknologi seperti media massa, khususnya televisi, interpretasi kita terhadap sosok jahat makin menjadi-jadi; salah satu contohnya adalah sinetron. Di dalam sinetron sering kita jumpai protagonis yang dihujat dan 'disiksa' oleh tokoh antagonis. Dalam sinetron, seorang tokoh antagonis digambarkan begitu 'negatif' hingga segala sesuatu yang diperbuat oleh tokoh yang diatribusikan sebagai 'baik' dirasanya tidak menyenangkan, sok-sokan, tidak tahu diri.

Ketika seseorang memunculkan perilaku berupa pandangan sinis, intonasi membentak dan kasar, selamanya ia dikategorikan 'jahat'. Walhasil, kita yang menjadi khalayak ini juga turut berpikir atas representasi pembuat sinetron tentang orang jahat itu. Kita juga turut emosional, geregetan dan cenderung 'membenci' orang yang ditampilkan tersebut dan menaruh simpati terhadap orang yang diatribusi baik. Secara tidak langsung juga media disini berperan mengkonstruksi pemikiran penontonnya, tentang orang yang 'baik' dan 'jahat'. Tapi menurut saya, 'jahat' atau 'baik' yang direpresentasikan oleh pembuat sinetron disini adalah hal yang tidak realistis (walaupun pada dasarnya sinetron tidak realistis), karena pada dasarnya manusia itu pasti punya dua sisi. Itu hal yang pasti, karena seperti kita tahu orang yang mutlak baik itu tidak ada, begitu juga jahat. Apakah ada manusia yang dari lahir sampai dewasa murni 'jahat'?.

Perlu kita ingat, bahwa bahasa adalah salah satu keuntungan bagi manusia, karena tidak semua makhluk di bumi ini mampu menggunakan struktur yang rumit. Bahasa sendiri digunakan untuk mewakili sebagian realitas yang dihadapi manusia, yang gunanya untuk menyederhanakan kerumitan dari realita yang dihadapi dengan pikiran. Kata 'jahat' sendiri, mewakili suatu realitas tertentu dimana suatu hal menunjukkan ciri-ciri yag bisa kita golongkan sebagai jahat. Contoh : anda melihat televisi, melihat berita kriminal yang melaporkan tentang orang yang membunuh korbannya dengan cara memutilasi, kemudian pikiran anda tertuju pada kata-kata : kejam-jahat. Mengapa demikian? Bentukan budaya anda-lah yang mengarahkan pemikiran anda ke sana. Kita tidak tahu harus menyebutnya bagaimana, karena pilihan bahasa, serta kata-kata kita terbatasi oleh kata-kata tersebut.

"Jahat".

Kata-kata yang terdiri dari 5 karakter, yang tersusun atas sintagma dan paradigma. Tidak hanya kata ini, kata-kata yang lain juga diciptakan berdasar kesepakatan orang terdahulu. Dari bebunyian yang primitif hingga menjadi kata-kata modern dan memiliki makna kompleks. Keistimewaan manusia tersebut, malah menjadi racun bagi diri sendiri; karena sifatnya yang mewakili realita. Realitas adalah hal yang kompleks, dan otak manusia menyusunnya menjadi suatu hal yang sederhana. Kesederhanaan inilah yang membuat kita luput, hingga mengatribusi sesuatu sebagai 'jahat' dengan seenak kita. Andaikan realitas tentang 'jahat' itu melebihi realitas yang diwakilkan oleh kata-kata, akankah manusia paham? Dan apakah ada 'jahat' yang murni itu?

Ketidaktahuan ini masih belum bisa terjawab, mengingat keterbatasan jenjang pikiran kita. Satu-satunya penenang bagi anda dan saya untuk masalah seperti ini, bisa kita temukan di lirik lagu dari sebuah band asal Inggris, dalam liriknya "Stairway to Heaven"

"Cause you know, sometimes words have two meanings"