Sepenggal cerita dari warung kopi

Salah satu hobi baru yang membuat saya candu di akhir-akhir ini adalah berkelana di sejumlah warung kopi di kota Surabaya. Selain memenuhi kebutuhan ngemil, warung kopi memberikan saya wadah untuk mengisi waktu luang untuk banyak merenung. Ya, merenung adalah satu hal yang paling saya senangi. Kebiasaan ini memberikan saya banyak momen untuk introspeksi, memikirkan hal-hal di luar jangkauan saya. Warung kopi, seperti menjadi jalan untuk saya melepas hasrat diri yang terdalam. Bukan berarti saya tidak bisa merenung di tempat selain warung kopi, tetapi ada sejumlah hal yang tidak bisa kita dapatkan selain di warung kopi; celetukan si pemilik warung pada pelanggan yang berhutang, seorang PNS (pegawai negeri sipil) yang memamerkan koleksi batu akiknya, atau sekumpulan anak muda yang membahas hal muluk-muluk, kritis dan konyol. Semua itu terjadi secara random, bahkan dapat saya katakan bebas, lepas, namun tidak menyenggol satu sama lain. 

Membicarakan tentang warung kopi, rasanya tidak afdol kalau kita meninggalkan istilah tersebut hanya pada sebuah bilik berisikan lampu petromaks dan kompor gas yang tengah menggodog air. Di Indonesia, terdapat sebuah grup lawak dengan nama yang sama, Warkop DKI, atau Warkop prambors. Saya tidak akan membahas panjang lebar tentang sejarah dan tetek bengek tentang Warkop, karena info tersebut bisa anda temukan di penghujung manapun di dunia maya. Semasa saya kecil, saya tidak terlalu sering menontonnya (maklum, lahir tahun 1993, dan masih dibodohi dunia). Satu kenangan yang mendasar tentang Warung kopi dan personilnya yang pertama kali saya dengar, adalah meninggalnya almarhum Kasino Hadiwibowo pada tahun 1997. Saya baru 4 tahun, dan saya merasa bingung, lah kok meninggal orang ini?. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya, pada tahun 2000, saya melihat sebuah program televisi (kalau nggak salah, Warkop Millenium). Saya melihat Kasino tengah bercanda dengan kawan-kawannya di stasiun televisi. Lho, kok saya seperti ditipu? Katanya sudah meninggal, kok masih ada saja di televisi? Logika saya kala itu, mengarahkan saya untuk kagok. Beberapa tahun kemudian, saya baru sadar, bahwa televisi tidak melulu menampilkan hal secara langsung. Hahaha, mungkin kedengarannya saya bodoh, namun di satu sisi kita perlu mempertanyakan, benarkah seseorang benar-benar "mati"?. Istilahnya, apabila seseorang meninggalkan dunia, dimakamkan, apakah kemudian kenangannya akan hilang?. Tidak, karena ia akan ada di benak orang lain yang mengenalnya. Apabila ia seorang figur yang berkontribusi di masyarakat, ia akan diabadikan; sebagai nama, sebagai suatu hal yang dirindukan (meminjam istilah Baudrillard & Lyotard; Nostalgia!!). Mereka tidak mati, tidak, selama masih ada yang mengenang mereka.
 
Kembali lagi ke persoalan warung kopi. Semangat kebebasan berbicara adalah yang terdapat di (menurut saya), setiap warung kopi. Selama ada manusia yang ingin bertukar pikiran dan melakukan kontemplasi di tempat ini, semangat kebebasan berpendapat itu akan ada. Kapan lagi, kita bisa secara random membicarakan ketuhanan? Kabar miring tentang aparatus negara, atau banyolan internal yang kita nikmati secara terus-menerus dan menimbulkan kekehan tiada henti? Hanya di warung kopi, semangat itu terwadahi. Sayangnya, di satu sisi terkadang perkembangan jaman juga turut menggerus semangat ini. Dominasi teknologi bernama ponsel cerdas (smartphone), membuat akses ke dunia luar begitu mudah, sehingga ketika kita melihat seseorang sibuk menatap objek berpendar tersebut, bisa dipastikan bahwa jasadnya tetap berada di tempat, namun pikirannya melanglang buana, sehingga atensi (perhatian) dirinya teralihkan. Bagaimana juga, apabila ia tetap konsisten pada layar dan mengajak orang tersebut bicara, ia tidak akan memerhatikan secara utuh. Ada yang mengistilahkan orang seperti ini autis, anti-sosial. Istilah ini tidak benar, mengingat ada istilah phubbing, yang lebih tepat untuk menjelaskan keadaan di mana ada seseorang yang terlalu sibuk menatap perangkat teknologi sementara ada sebuah konteks sosial yang berlangsung. Menurut saya, percuma saja anda menjunjung tinggi semangat demokrasi, kebebasan berpendapat, namun anda, orang sekitar anda melakukan phubbing?. Mengarahkan orang untuk menghargai mereka yang meluangkan waktunya untuk bertukar pikiran adalah satu langkah memanusiakan orang lain. 

Oh ya, apabila ada di antara anda yang melihat posting dalam blog ini secara mendalam dan melihat tema dan gaya penulisan yang inkonsisten, saya jelaskan bahwa saya orang yang ingin berpikir dan berperilaku bebas, walaupun beberapa muatannya mungkin tidak bermanfaat, merugikan dan merusak jantung. Saya menjunjung tinggi semangat kebebasan, maka dari itu, anda bebas mengkritik saya. Terima kasih, selamat pagi, dan selamat menempuh hidup baru.

Bima Adi Priambodo

Mahasiswa kepentok Skripsi