Lost stars

Ketika itu, saya tengah mengalami kejengahan hati. Di sebuah warung kopi di sudut Universitas Airlangga itu, saya merenung meratapi nasib dan menyelami celah terdalam di dasar hati. Di dalam pikiran saya, hanya ada satu hal : bintang mulai menghilang. Ketika malam menuju pagi, saya meratapi langit untuk mencari bintang. Bukan tanpa sebab, namun ketika saya melihat bintang, kontemplasi diri ini menjadi semakin mudah, semakin dalam. Di saat saya membutuhkan kontemplasi itu, bintang yang saya cari menghilang-dengan perpisahan yang menyakitkan, ia meninggalkan saya. Mohon maaf kalau gaya bahasa yang saya gunakan di tulisan ini sedikit sendu, sebab saat ini saya sedang ingin sendu. Penyebab yang mendasar adalah tentang bintang hati saya yang kini hilang.

Mengapa secara khusus saya menggunakan istilah bintang yang hilang sebagai judul? 

Bintang, adalah objek yang memiliki cahaya. Ia hanya bisa dilihat saat dunia kekurangan cahaya atau gelap. Di kala terang, bintang bukannya menghilang, namun mengabur oleh sinar matahari.

Bintang di hati ini tengah menghilang. Bukan karena ditutup oleh matahari, namun ia telah pergi dari hati ini. Kini, hati saya kembali gelap, tanpa penerang. Semesta diri masih tetap berjalan, namun tanpa bintang, ia hampa, tak berwarna. Untuk menjelaskan keadaan hati ini, saya akan mengutip dari lagu Adam Levine "Lost Stars" yang liriknya seperti ini:

But are we all lost stars trying to light up the dark ?


Tanpa terkecuali, semua manusia digambarkan sebagai bintang yang tersesat dan hilang arah. Masing-masing mencoba menerangi gelap di dunianya. Beberapa orang menganggap orang lain sebagai bintangnya, namun tanpa kita sadari seringkali kitalah bintang penerang kehidupan orang lain. Bagaimana mungkin kita mempercayakan nasib kita pada orang lain, sementara yang menjalani hidup ini sebagai protagonis adalah kita sendiri? Diri ini bukanlah tanpa makna ketika bintang kehidupan kita menghilang, sebab kita adalah bintang bagi diri kita sendiri. 

Terkait dengan hal yang saya utarakan, sebenarnya saya tidak sesedih di masa yang lampau, sebab pada awalnya kami telah berkomitmen bahwa perpisahan pasti terjadi, namun tiada terduga hanya berjalan selama satu kali purnama. Saya kesal, merasa bahwa ia tidak menghargai komitmen yang telah dibangun sedemikian rupa. Ketika saya membutuhkannya, ia bagaikan bintang di siang hari; seperti tak ada, padahal ia ada. Bahkan, saat ini ketika ia tidak lagi bersama saya, ia bagaikan bintang mati; kehadirannya tak terasa lagi di hati ini.

Mungkin engkau dan aku berada di semesta, namun dalam tataran alam yang kita enggan menjamahnya. Aku mengibaratkan diriku sebagai pelaut yang mengarungi samudra guna mencari cinta sejati.

Suatu ketika, di laut yang ke-5, aku bertemu seekor duyung yang nyanyiannya membuatku terpikat. Kami telah saling mengerti batasan yang menghalangi kami, namun kami saling acuh. Pada akhirnya, diajaknya aku menyelami dunianya di bawah laut. Ia menjanjikan kehidupan bak istana atlantis; tenang, megah nan sunyi, dan hanya kami berdua yang menghuninya. Sebelum mencapai tujuan tersebut, ia melepas tangannya dariku, dan membiarkan air mencekik kerongkonganku. Kulihat buih udara berhamburan dari diri ini, dan terus bertanya dalam hati: oh, Dewata, mengapa semua berakhir begini? Apakah aku terlena dalam nyanyiannya, hingga aku menjadi buta?

Hati ini terus bertanya, menggema dalam hati yang gelap, tanpa cahaya. Biar semesta tetap bercengkrama, engkau dan aku tak dipersatukan, baik dalam mimpi atau realita. Bintang dalam hati ini menghilang, kembali hati berada dalam kontemplasi tak beraturan.

Celine, i wish you were here.